Kamis, 30 Oktober 2014

Foto Jalan-Jalan MONUMEN JOGJA KEMBALI (MONJALI)

Monumen Jogja kembali merupakan tempat wisata dengan nuansa edukasi dan heroik. Heroik karena di sana bisa ditemukan benda bersejarah seperti dokar dan tandu Jendral Soedirman, jas Sultan Hamengku Buwono IX,hingga diorama dapur umum para pejuang.Sisi edukasinya sangat cocok untuk mengenalkan langsung para pelajar dalam mengenang jasa dan pengorbanan pahlawan terdahulu. Dengan ini, mereka akan merasa malu jika kelak menjadi koruptor, pengemplang pajak, tidak taat beribadah, dan berbagai perilaku merusak negara lainnya.

Tentang taat beribadah, banyak pahlawan pejuang kemerdekaan yang merupakan santri dan ulama. Mereka tidak akan takut mati jika landasanbrperang bukan karena Jihad Fii Sabilillah. Jendral Soedirman adalah seorang ulama kharismatik dan masih mengalir darah Muhammadiyah pada diri beliau.
Monumen Jogja Kembali terletak di Jalan Lingkar Utara (RIng Road Utara), di Kelurahan Jongkang, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Dengan posisi yang strategis ini, Monjali bisa diakses dari manapun baik dengan kendaraan umum atau kendaraan pribadi.

Ada petikan kalimat Jendral Soedirman yang menggetarkan jiwa dan dipajang dalam sebuah figura sederhana di Monjali. Jendral Soedirman berpesan, “Dalam menghadapi keadaan apapun, jangan lengah sebab kelengahan menimbulkan kelemahan dan kelemahan menimbulkan kekalahan sedang kekalahan menimbulkan penderitaan”.


















 






Add caption
Add caption


Add caption

Foto Rapat Partai Garuda UMS







Jalan-jalan ke Candi Borobudur ...

Bagi Anda yang akan berakhir pekan mengunjungi Candi Borobudur, ternyata tak hanya candinya saja yang menarik. Traveler bisa mengunjungi obyek dan desa wisata di sekitar Borobudur yang tak kalah seru untuk dikunjungi.


 Bagi beberapa orang, jalan-jalan ke Borobudur mungkin sudah menjadi sesuatu yang membosankan bila sudah beberapa kali ke sana. Sebenarnya di area Borobudur tidak hanya candinya saja yg menarik lho! Banyak obyek-obyek lain yang juga menarik untuk dikunjungi.


Selain candi-candi kecil seperti Mendut dan Pawon, ada banyak desa wisata yang menarik untuk dikunjungi di areal Borobudur. Bahkan, di samping Candi Mendut, Anda dapat menemukan vihara yg sangat cantik diabadikan. vihara Mendut ini sangat unik, karena bangunan beserta patung-patungnya tidak condong terhadap agama Buddha saja.



Bila mengamati pintu gerbangnya, pintu gerbang kiri dan kanan vihara ini menyerupai gerbang pura Hindu di Bali. Sedangkan mandala pintu gerbang tengahnya, terdapat ukiran yang mirip dengan kaligrafi Islam. Ada juga patung dewi bersayap yang menurut saya memiliki banyak kemiripan dengan malaikat umat Kristiani.
Berpuaslah menjepret dengan kamera kesayangan, karena banyak obyek cantik yang layak untuk diabadikan. Dalam perjalanan beberapa waktu lalu, kami juga mampir ke Punthuk Setumbu.


Anda pasti sering mendengar tentang Punthuk Setumbu. Ya, bukit ini sudah terkenal di kalangan para fotografer dan petualang pemburu sunrise. Bukit Punthuk Setumbu terletak di barat Candi Borobudur, Desa Ngadiharjo, sekitar 10-15 menit dari Borobudur.
Rutenya, dari pintu gerbang Borobudur, ambilah jalan ke selatan, melewati pusat konservasi Borobudur dan Hotel Manohara. Tidak jauh dari situ, Anda akan menemukan perempatan pertama dengan 2 tanda panah.
Panah ke kiri menuju Dusun Djowahan dan panah ke kanan menuju Dusun Ngadiharjo. Nah, untuk menuju ke Punthuk Setumbu, beloklah ke kanan menuju Dusun Ngadiharjo.
Selama perjalanan, mata dimanjakan dengan hijaunya pertanian warga yang subur dan kemegahan Candi Borobudur di balik hijaunya sawah. Setelah melewati penanda masuk Desa Ngadiharjo, ada penanda di kanan jalan untuk ke Punthuk Setumbu. Jalan kecil yang sedikit menanjak itu hanya cukup untuk satu kendaraan roda empat saja. Hati-Hati!



Setelah mengikuti jalan menanjak sekitar 300 meter, Anda akan menemukan areal parkir dan pintu retribusi. Sampai di sana, untuk melanjutkan perjalanan ke Punthuk Setumbu, Anda harus jalan kaki sekitar 10 menit.
Retribusi untuk memasuki wilayah Punthuk Setumbu ini sekitar Rp 25.000 per orang. Trek yang cukup menanjak ini memang cukup melelahkan, tapi akan terbayar begitu Anda sampai di puncak bukit.
Di puncak bukit Punthuk Setumbu, pemandangan panorama alam tidak akan terhalang apapun hingga jauh ke timur. Itu kenapa, puncak bukit Punthuk Setumbu ini menjadi lokasi menarik bagi pecinta sunrise.
Hamparan sawah hijau di bawahnya, di tambah dengan pemandangan puncak Candi Borobudur. Benar-benar menyejukkan mata. Saran saya, bila berkunjung ke bukit Punthuk Setumbu ini, bawalah kamera terbaik Anda. Setelah puas dengan pemandangan di Punthuk Setumbu, kami memutuskan turun untuk menjelajahi tempat selanjutnya.

Sebelum menemukan arah yang pasti untuk menuju Punthuk Setumbu, kami sempat melihat papan petunjuk bertuliskan 'Kampung Bahasa'. Demi memuaskan rasa penasaran, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan untuk mencari kampung tersebut.
Kampung Bahasa ini berada di Desa Ngargogando, sekitar 10-15 menit perjalanan dari Punthuk Setumbu. Desa ini disebut sebagai Kampung Bahasa karena menjadi pusat untuk belajar Bahasa Inggris. Bangunan tempat belajar Bahasa Inggris di sini adalah milik penggagas kampung wisata ini sendiri.
Selain belajar di dalam ruangan, di sini juga diajarkan Bahasa Inggris sambil menikmati objek-objek wisata di areal Borobudur. Eduwisata berbahasa Inggris ini menawarkan banyak paket, dari yang harian sampai yang sebulan penuh.
Pemandangan yg unik akan kita temukan di Kampung Bahasa ini. Di kampung ini, rumah-rumah warga ditempeli poster-poster tentang pelajaran Bahasa Inggris seperti noun, verb, adjective, dan kosakata Bahasa Inggris lain. Menarik bukan?

Ini goto-fotonya ... 


















Diskusi Partai Garuda UMS





Diskusi ini diisi oleh mantan Predisen Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta yang di dampingi oleh Muhammad Saleh ...
adapun tema dari diskuni ini adalah : Politik Indonesia

Pengertian Politik Secara Singkat adalah teori, metode atau cara untuk bisa meraih apa yang dituju. dan pendevinisian politik itu sendiri sangat banyak dan berikut ini Pengertian Politik Secara lengkap:
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)

Diskusi bersama Bapak Mahalli (Dekan FAI UMY)


Diskusi ini dihadiri oleh seluruh Mahasantri Pondok Muhammadiyah Hajjah Nuriyah Shabran, acara ini diselenggarakan oleh Pimpinan Komisariat IMM HNS yang diselenggarakan pada tanggal 06 Oktober 2014 yang dibuka langsung oleh Mudir Pondok yaitu Bapak DR. Imron Rosyadi, M.Ag





Sejarah Berdirinya IMM (IKatan Mahasiswa Muhammadiyah)


Sejarah Berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah merupakan bagian dari AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah) yang merupakan organisasi otonom di bawah Muhammadiyah.

Sesungguhnya ada dua faktor integral yang melandasi kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, yaitu faktor intem dan fakor ekstem. Faktor intem dimaksudkan yaitu faktor yang terdapat didalam diri Muhammadiyah itu sendiri, sedangkan fakor ekstern adalah faktor yang berawal dari luar Muhammadiyah, khususnya umat Islam di Indonesia dan pada umumnya apa yang terjadi di Indonesia.

Faktor intern, sebenarnya lebih dominan dalam bentuk motivasi idealismse, yaitu motif untuk mengembangkan ideologi Muhammadiyah, yaitu faham dan cita cita Muhammadiyah. Sebagaimana kita ketahui bahwa Muhammadiyah pada hakekatnya adalah sebuah wadah organisasi yang punya cita-cita atau tujuan yakni menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridloi oleh Allah SWT. Hal ini termaktub dalam AD Muhammadiyah Bab II pasal 3. dan dalam merefleksikan cita-citanya ini, Muhammadiyah mau tidak mau harus bersinggungan dengan masyarakat bawah (jelata) atau masyarakat heterogen. Ada masyarakat petani, pedagang, peternakan dan masyarakat padat karya dan ada masyarakat administratif dan lain sebagainya yang juga termasuk didalamnya masyarakat kampus atau intelektual yaitu Masyarakat Mahasiswa.

Persinggungan Muhammadiyah dalam maksud dan tuiuannya, terutama terhadap masyarakat mahasiswa, secara teknisnya bukan secara langsung terjun mendakwahi dan mempengaruhi mahasiswa yang berarti orang-orang Mahasiswa, khususnya para mubalighnya yang langsung terjun ke mahasiswa. Tapi dalam hal ini Muhammadiyah memakai teknis yang jitu yaitu dengan menyediakan yang memungkinkan menarik animo atau simpati mahasiswa untuk memakai fasilitas yang telah disiapkan.

Pada mulanya para mahasiswa yang bergabung atau yang mengikuti jejak-jejak Muhammadiyah oleh Muhammadiyah dianggapnya cukup bergabung dalam organisasi otonom yang ada dalam Muhammadiyah, seperti Pemuda Muhammadiyah (PM) Yang diperuntukkan pada mahasiswa dan Nasyi'atul Aisyiyah (NA) untuk mahasisiwi yang lahir pada 27 Dzulhijjah 1349 H dan Pemuda pada tanggal 25 Dzulhiijjah 1350 H.

Anggapan Muhammadiyah tersebut lahir pada saat-saat Muhammadiyah bermuktamar ke-25 di Jakarta pada tahun 1936 Yang pada saat itu dihembuskan pula cita-cita besar Muhammadiyah untuk mendirikan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) dan pada saat itu pula Pimpinan Pusat (PP) Yang dipegang oleh KH. Hisyam (periode 1933-1937). Dan pada dikatakan bahwa anggapan dan pemikiran mengenai perlunya menghimpun mahasiswa yang sehaluan dengan Muhammadiyah yaitu sejak konggres ke-25 tersebut.

Namun demikian keinginan untuk menghimpun dan membina mahasiswa Muhammadiyah pada saat itu masih vakum, karena pada waktu itu Muhammadiyah masih belum memiliki Perguruan Tinggi seperti yang diinginkannya sehingga para mahasiswa yang berada di Perguruan Tinggi lain baik negeri ataupun swasta yang sudah ada pada waktu itu secara ideologi tetap berittiba' pada Muhammadiyah dalam kondisi tetap mereka harus mau bergabung dengan PM, NA ataupun Hizbul Wathon (HW). Pada perkembangan keberadaan mereka yang berada dalam ketiga organisasi otonom tersebut merasa perlu adanya perkumpulan khusus mahasiswa yang secara khusus anggotanya terdiri dari mahasiswa Islam. Alternatif yang mereka pilih yaitu bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bahkan ada image waktu itu yang menyatakan bahwa HMI adalah anak Muhammadiyah yang diberi tugas khusus untuk membawa mahasiswa dalam misi dan visi yang dimiliki oleh Muhammadiyah, karena waktu itu ditubuh HMI sendiri dipegang oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah yang secara aktif mengelola HMI.

Pada waktu itu Muhammadiyah secara kelembagaan turut mengelolai HMI baik dari segi moral ataupun material, sampai belakangan ini menurut data-data yang ada di PP Muhammadiyah menyatakan bahwa Muhammadiyah (terutama PTM dan RS Sosial) secara materiil turut membiayai hampir setiap aktifitas HMI baik mulai dari tingkat konggres sampai aktifitas sehari -hari. Disinilah sekali lagi bukan HMI yang turut menelorkan tokoh-tokoh Muhammadiyah tapi sebaliknya bahwa Muhammadiyah yang dulu ikut aktif membesarkan HMI. Mengapa hal itu dilakukan? Jawabannya seperti dikemukakan diatas, yaitu bahwa HMI diharapkan akan tetap konsisten dengan faham keagamaan yang diilhami oleh Muhammadiyah. Namun pada perkermbangannya dahulu mengalami perubahan-perubahan khususnya dalam independensi diinginkan oleh Muhammadiyah oleh Muhammadiyah lebih cenderung liberal dalam segala dalam segala aliran yang ada dalam teologi Islam boleh mewarnai tubuh HMI aliran-aliran Asy'ariyah (cenderung menghidupkan kembali sunnah-sunnah rosul), aliran syi'ah (yang cenderung mengkultuskan syaidina Ali bin Abi Tholib r.a), Mu'tazilah, nasionalisme, sekularisme, pluralisme lainnya. Sementara dalam Muhammadiyah tidaklah independensi Muhammadiyah ditekankan pada berpendapat namun masih dalam konteks wacana Islam masih tetap berideologi Al-quran dan As-sunnah dalam Muhammadiyah tidak mengenal madzab-madzab yang ada seperti madzab Syafi`i, Hambali dan Maliki.

Melihat fenomena diatas, HMI yang kian melesat kealam berideologi tersebut maka dengan diplomasinya pihak PP Muhammadiyah mengeluarkan suatu policy atau kebijakan yaitu menyelamatkan kader-kader Muhammadiyah yang masih berada dijenjang pendidikan menengah atau Pendidikan Tinggi.

Pada tanggal 18 Nopember 1955 keinginan Muhammadiyah untuk mendirikan PTM ini, PP Muhammadiyah melalui struktur kepemimpinannya membentuk departemen pelajar dan mahasiswa yang menampung aspirasi aktif dari para pelajar dan mahasiswa.

Maka pada saat Muktamar Pemuda Muhammadiyah pertama di Palembang tahun 1956 di dalam keputusannya menetapkan langkah ke depan Pemuda Muhammadiyah tahun 1956-1959 dan dalam langkah ini ditetapkan pula usaha untuk menghimpun pelajar dan mahasiswa Muhammadiyah agar kelak menjadi pemuda Muhammadiyah atau warga Muhammadiyah yang mampu mengemban amanah.

Untuk lebih merealisasikan usaha PP Pemuda Muhammadiyah tersebut maka lewat KOPMA (Konferensi Pimpinan Daerah Muhammadiyah) se-Indonesia pada tanggal 5 Shafar 1381/18 Juli 1962 di Surakarta, memutuskan untuk mendirikan IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah). PP Pemuda Muhammadiyah pada saat KONPIDA ini masih belum berhasil melahirkan organisasi khusus Mahasiswa Muhammadiyah. Pada saat itu nasib boleh duduk dalam kepengurusan IPM.

Sehubungan dengan semakin berkembangnya PTM yang dirintis oleh Fakultas Hukum Dan Filsafat di Padang Panjang yang berdiri pada tanggal 18 Nofember 1955 namun karena peristiwa pemberontakan PRRI kedua fakultas tersebut vakum, kemudian berdiri di Jakarta PT Pendidikan guru yang kemudian berganti nama menjadi IKIP. Pada tahun 1958 dirintis fakultas serupa di Surakarta, di Yogyakarta berdiri akademi Tabligh Muhammadiyah dan di Jakarta berdiri pula FIS (Fakultas Ilmu Sosial) yang sekarang UMJ. Karena semakin berkembangnya PTM-PTM yang sudah ada maka pada tahun 1960-an ide-ide untuk menangani khusus mahasiswa Muhammadiyah semakin kuat.

PP Pemuda Muhammadiyah yang oleh PP Muhammadiyah dan Muktamar ke-I di Palembang (1956) dibebani tugas untuk menampung aspirasi aktif para Mahasiswa Muhammadiyah, segera membentuk Study Group yang khusus Mahasiswa yang berasal dari Malang, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Padang, Ujung Pandang dan Jakarta. Menjelang Muktamar Muhammadiyah setengah abad di Jakarta tahun 1962 mengadakan kongres Mahasiswa Muhammadiyah di Yogyakarta dan dari kongres ini semakin santer upaya para tokoh Pemuda untuk melepaskan Departemen Kemahasiswaan untuk berdiri sendiri. Pada 15 Desember 1963 mulai diadakan pejajagan dengan didirikannya Dakwah mahasiswa yang dikoordinir oleh : Ir. Margono, Dr. Sudibjo Markoes dan Drs. Rosyad Saleh. Ide pembentukan ini berasal dari Drs. Moh. Djazman yang waktu itu sebagai Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah. Dan sementara itu desakan agar segera membentuk organisasi khusus mahasiswa dari berbagai kota seperti Jakarta dengan Nurwijo Sarjono MZ. Suherman, M. yasin, Sutrisno Muhdam, PP Pemuda Muhammadiyah dll-nya.

Akhirnya dengan restu PP Muhammadiyah waktu itu diketuai oleh H.A. Badawi, dengan penuh bijaksana dan kearifan mendirikan organisasi yang khusus untuk Mahasiswa Muhammadiyah yang diketuai oleh Drs. Moh. Djazman sebagai koordinator dengan anggota M. Husni Thamrin, A. Rosyad Saleh, Soedibjo Markoes, Moh. Arief dll.

Jadi Pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan pencetus nama IMM adalah Drs. Moh. Djazman Al-kindi yang juga merupakan koordinator dan sekaligus ketua pertama. Muktamar IMM yang pertama pada 1-5 Mei 1965 di kota Barat, Solo dengan menghasilkan deklarasi yang dibawah ini

  1. IMM adalah gerakan Mahasiswa Islam
  2. Kepribadian Muhammadiyah adalah Landasan perjuangan IMM
  3. Fungsi IMM adalah sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah (sebagai stabilisator dan dinamisator).
  4. Ilmu adalah amaliah dan amal adalah Ilmiah IMM.
  5. IMM adalah organisasi yang syah-mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan dan falsafah negara yang berlaku.
  6. Amal IMM dilakukan dan dibaktikan untuk kepentingan agama, nusa dan bangsa.

Selanjutnya yang juga termasuk faktor intem dalam melahirkan IMM adanya motivasi etis dikalangan keluarga Muhammadiyah. Dalam upaya mewujudkan maksud dan tujuan Muhammadiyah baik yang berada di struktural ataupun diluar dan simpatisan, baik yang berekonomi atas, menengah ataupun bawah harus dapat memahami dan mengetahui Muhammadiyah secara general ataupun secara spesifik sehingga tidak muncul kader-kader Muhammadiyah yang radikal (berwawasan sempit). Penegasan motivasi etis ini sebenarnya merupakan interpretasi (pemahaman) dari firman Allah SWT. dalam QS. Al-Imran:104 dan diharapkan kader-kader Muhammadiyah yang khusunya IMM dapat merealisaasikan motivasi etis diantaranya dengan melakukan dakwah amar ma`ruf nahi munkar, Fastabiqul Khoirot (berlomba-lomba dalam kebajikan & demi kebaikan).

Faktor Ekstern, yaitu sebagaimana yang tersebut diatas baik yang terjadi ditubuh umat Islam sendiri ataupun yang terjadi dalam sejarah pergolakan bangsa Indonesia, yang terjadi dimasyarakat Indonesia pada zaman dahulu hingga sekarang adalah sama saja, yaitu kebanyakan mereka masih mengutamakan budaya nenek moyang yang mencerminkan aktifitas sekritistik dan bahkan anemistik yang bertolak belakang dengan ajaran Islam murni khususnya dan tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Hal semacam ini memunculkan signitifitasi (bias) yang begitu besar, utamanya pada kalangan mahasiswa Yang memiliki kebebasan akademik dan Seharusnya memiliki pola pikir yang jauh, namun karena dampak budaya masyarakat yang demikian membumi, mereka akan menjadi jumud dan mengalami kemunduran.

Pergolakan OKP (Organisasi Kemasyarakatan Pemuda) atau Organisasi Mahasiswa periode 50 sampai 65-'an terlihat menemui jalan buntu untuk mempertahankan indpendensi mereka dan partisipasi aktif dalam pasca Proklamasi (era kemerdekaan) RI. hal ini terlihat sejak pasca Konggres Mahasiswa Indonesia pada 8 Juli 1947 di Malang Jawa Timur, yang terdiri dari HMI, PMKRI, PMU, PMY, PMJ, PMKH, MMM, SMI, yang kemudian berfusi (bergabung) menjadi PPMI (Perserikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia). PPMI pada mulanya tampak kompak dalam menggalang persatuan dan kesatuan diantara mahasiswa, namun sejak PPMI menerima anggota baru pada tahun 1958 yaitu CGMI yang berkiblat dan merupakan anak komunis akhirnya PPMI mengalami keretakan yang membawa kehancuran. PPMI secara resmi membubarkan diri pada Oktober 1965.

Sebenamya PPMI sebelum membubarkan diri, sekitar tahun 1964-1965 masing-masing organisasi yang berfusi dalam PPMI itu saling berkompetisi dan sok revolosioner untuk merebut pengaruh para penguasa waktu itu, termasuk juga Bung Karno Yang tak luput dari incaran mereka. Hal ini diakibatkan karena masuknya CGMI kedalam PPMI yang seakan mendapatkan legitimasi dari pihak penguasa waktu itu sehingga CGMI (PKI) terlihat besar. HMI pun saat itu juga merevolosionerkan diri menjadi sasaran CGMI (PKI), sehingga HMI hampir rapuh akibat ulahnya sendiri, karena pada saat itu PKI merupakan partai terbesar dan pendukungnya selalu meneriakkan supaya HMI dibubarkan. HMI melihat kondisinya yang rawan tidak tinggal diam, dengan segala upaya untuk mengembangkan sayap dan memperkokohnya, HMI kembali berusaha mendapatkan legitimasi kesana-kemari untuk menangkal serangan dari PKI yang berusaha membubarkannya.

Pada saat HMI semakin terdesak itulah IMM lahir, yaitu pada tanggal 14 Maret 1964. Inilah sebabnya, ada stereotype atau persepsi yang muncul ke permukaan bahwa IMM lahir sebagai penampung anggota-anggota HMI manakala HMI dibubarkan oleh PKI maka IMM tidak perlu lahir. Namun persepsi yang terputar itu tidak rasional dan kurang cerdas dalam menginterprestasi fakta dan data sejarah.

Interprestasi Yang benar dan rasional sesuai dengan data dan fakta sejarah adalah IMM salah satu faktor historisnya adalah untuk membantu eksistensi HMI agar tidak mempan atas usaha-usaha yang akan membubarkannya. Sekali lagi bahwa kelahiran IMM untuk membantu dan turut Serta mempertahankan HMI dari usaha- usaha komunis yaitu PKI Yang akan membubarkannya dan sesuai dengan sifat IMM itu sendiri yang akan selalu bekerjasama dan saling membantu dengan saudaranya (saudaranya seaqidah Islam) dalam upaya beramar ma'ruf nahi mungkar Yang merupakan prinsip perjuangan IMM.

Itulah sekilas kelahiran IMM yang sampai sekarangpun masih ada oknum-oknum yang mempersoalkannya (walaupun sudah terbit buku Yang menangkal isu tersebut dengan judul 'Kelahiran Yang Dipersoalkan oleh Farid Fatoni). Dan sekarang kita telah tahu bahwa IMM lahir memang merupakan suatu kebutuhan Muhammadiyah dalam mengembangkan sayap dakwahnya dan sekaligus merupakan suatu aset bangsa untuk berpartisipasi aktif dalam kemerdekaan ini.

Karena IMM merupakan suatu kebutuhan intern dan ekstern itu pulalah, maka tokoh-tokoh PP Pemuda Muhammadiyah yang berawal dari HMI kembali ke IMM sebagai anak atau ortom Muhammadiyah. Mereka yang dulu turut mengembangkan HMI disebabkan karena IMM belum lahir dan keterlibatan mereka dalam tubuh HMI hanya sebatas mengembangkan ldeologi Muhammadiayah. Dan sampai sekarangpun HMI masih dimasuki oleh kalangan mahasiswa dari berbagai unsur ormas Islam, yang pada akhimya berbeda dengan orientasi Muhammadiyah. Mungkin, untuk menangkal klaim seperti tersebut PP Pemuda Muhammadiyah diatas, adalah bahwa Para aktifis akan berdirinya IMM & NA Yang berusaha mengusahakan berdirinya IMM tidak terlibat dalam aktifitas HMI secara langsung maupun tidak langsung. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah benar-benar murni didirikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yang pada waktu itu diketuai oleh Bapak H.A. Badawi.

SEJARAH PERKEMBANGAN IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH

Setelah kita melacak sejarah kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhamamdiyah (IMM) sekarang tibalah kita membicarakan sejarah perkembangannya. Untuk maksud ini, dan agar lebih sistematis dalam pengungkapannya, maka di bawah ini akan dibicarakan perkembangan IMM dari Muktamar ke Muktamar Yakni Muktamar I, II, II, IV, V dst.

Muktamar IMM ke I

Muktamar Ikatan mahasiswa Muhammadiyah (IMM) ke-1, lebih dikenal dalam sejarah IMM yaitu dengan Musyawarah nasional (Munas). Untuk yang pertama kalinya setelah IMM resmi disetujui oleh PP Muhammadiyah dan bahkan oleh Persiden RI ke-1 Bung karno, IMM mengadakan mengadakan Musyawarah Nasional I yaitu pada tanggal 1-5 Mei 1965 di Solo. Dalam Muktamar IMM ke-1 inilah yang telah menelorkan deklarasi Kota Barat (Solo) 1965 dan komposisi Personalia Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang isi deklarasi dan susunan personalianya termaktub di landasan gerakan.

Satu hal yang patut dicatat, yaitu pada saat deklarasi atau pada saat berlangsungnya Muktamar IMM ke-1 ini, situasi bangsa dan ormas mahasiswa sedang dalam keadaan kurang tegap, sempoyongan, gara-gara asap kota Madiun yang terberontak PKI sekitar tahun 1948 (setelah merdeka) sampai tahun 1965. pemberontajkan PKI ini terjadi di mana-mana, yang kontan tercatat dalam sejarah bahwa Jawa Tengah termasuk basis PKI. Tahun 1963-1965 merupakan era kejayaan PKI, dan pada saat-saat itulah IMM bangkit yaitu di tengah-tengah era kejayaan PKI, dan pada pertengahan tahun 1965, atau tepatnya 1-5 Mei 1965, IMM mengadakan Muktamar I, sementara PKI pun disetiap tempat sedang mengatur strategi untuk merebut kekuasaan RI yang berpuncak pada tanggal 30 September 1965 yang kini dikenal dengan gerakan 30 September (G 30 S PKI) yang telah melakukan penculikan kepada 7 orang jendral. Secara historis, kehadiran Munas (Musyawarah Nasional ) IMM ke-1 merupakan langkah politis yang tepat untuk menanamkan semangat juang mempertahankan kemerdekaan RI sekaligus menambah kekuatan ormas-ormas Mahasiswa termasuk HMI.

Secara historis-politis pula, pada saat kelahiran IMM tahun 1964, kelahiran IMM antara lain dalam tinjauan politis ini, yaitu bertujuan untuk memperkuat barisan MMI (Majelis Mahasiswa Indonesia) yang lahir pada tahun 1962 dimana Drs. Lukman Harun sebagai wakil sekjennya. Tetapi pada kongres MMI tahun 1964, yang semula diniatkan tetap mampu menguatkan ormas mahasiswa ternyata gagal. PKI dalam hal ini nampaknya masih kuat dan kelahiran MMI ini belum mampu mengimbangi kekuatan PKI akhirnya dengan penuh dialektika organisatoris yang tidak terlepas dari niatan baik untuk menghadang gerakan PKI bubarnya MMI tidak memudarkan niat mendirikan IMM dan kelahiran IMM tetap melangkah mantap.

Masih dalam situasi menjelang Munas I IMM, sekitar bulan Januari tahun 1965 tepatnya pada tanggal 13 Januari 1965, antek-antek PKI telah melakukan penyerangan terhadap PII (Pelajar Islam Indonesia) yang pada waktu itu tengah melangsungkan Mentara (mental training) di sebuah desa Kanigoro (Jawa timur). Dengan serbuan yang ganas terhadap acara Mentra PII di arena mesjid jami’ yakni pada saat peserta melaksanakan kuliah subuh. PKI datang bersenjata dan merusak segala yang ada di sekelilingnya kemudian peristiwa ini tersiar dan mengusik keimanan kaum muslimin. Pada tanggal 1 Februari 1965 umat Islam di Jawa Timur mulai melakukan aksi. Di Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI dan daerah sekitarnya juga turut melaksanakan aksi protes terhadap prilaku PKI. IMM sebagai organisasi yang baru lahir segera ambil bagian dalam gerakan-gerakan aksi dengan meneriakkan jargon “ganyang PKI”.

Para pemimpin IMM hasil Munas I yang diamanati untuk memimpin IMM periode 1965-1968, dalam melaksanakan program kerjanya senantiasa harus berhadapan dengan CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). Ikatan pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), Pemuda Rakyat dan lain-lain yang termasuk organ PKI. Organ-organ PKI yang senantiasa mengganggu aktivitas ormas pemuda dan mahasiswa Islam termasuk IMM, selalu meneriakan yel-yel “bubarkan HMI” dan lain-lain. Hal ini sesungguhnya tidak memudarkan gerakan IMM. Pemuda Muhammadiyah secara organisatoris sebagai kakak kandung IMM senentiasa menggandeng IMM untuk maju ke medan penggayangan PKI untuk mempertahankan HMI dan bangsa yang berlandaskan Pancasila serta berusaha mendekati BungKarno yang semakinterdesak dibujukdan difitnah PKI.

Pada hari Kamis, 30 September 1965 –yang pada malam harinya terjadi pemberontakan G30 S PKI kira-kira jam 20.00an—para anggota dan pimpinan IMM yang berada di Jakarta turut mendengarkan ceramah yang dibawakan oleh Kasad Jendral TNI A.H. Nasution di depan peserta Latihan kader Pemuda Muhammadiyah Jakarta yang bertempat di kompol UMJ Jl. Limau Jakarta Selatan (kini menjadi kampus UHAMKA). Kemudian pagi harinya, setelah terdengar berita adanya penculikan 7 jendral (termasuk Pak Nasution yang alhamdulillah lolos) atau G 30 S PKI, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang juga telah bergabung dengan GENUIS dan telah melakukan aksi membela HMI pada tanggal 11 September 1965 dan 13 September 1965, secara cepat melakukan komunikasi dengan tokoh-tokoh Pemuda Muhammadiyah atas anjuran PP Muhammadiyah yang ada di Jakarta kemudian berkumpul di tempat yang sama. Drs. Lukman Harun yang pada waktu itu menjadi ketua PP Pemuda Muhammadiyah memberi briefing, begitu pula HS projokusumo, Sutrisno Muhdam, Suwardi, Sam’ani, Sumarsono, Djalal Sayuti, Drs. Habian HS, H. Suyitno, mereka inilah yang kemudian mengadakan rapat tertutup di ruang Rektor Universitas Muhammadiyah yang kemudian salah satu hasilnya adalah membentuk KOKAM (Komando Kewaspadaan dan Kesiapasiagaan Muhammadiyah), Sumarsono dan Sutrisno Muhdam adalah anggota DPP IMM.

Dalam KOKAM itulah IMM berperan penting, sebagai ortom Muhammadiyah yang beranggotakan para mahasiswa militan senantiasa bergerak dan menggerakan aksi-aksi protes menentang PKI, menuntut pembubaran PKI. Dan melalui KOKAM ini pulalah IMM bisa bekerja sama dengan unsur TNI dan ABRI yang anti PKI.

Pada hari senin 4 Oktober 1965 Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) turut ambil bagian dalam pembentukan KAP GESTAPU (Kesatuan Aksi Penggayangan Kontra Revolusi G. 30 S. PKI), yang kemudian bergabung pula dengan aksi-aksi lain, KAMI (KesatuanAksi Mahasiswa Indonesia), KAPPI ( Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia) IMM pun turut ambil bagian Immawan Saiful Alam termasuk penandatanganan Kebulatan Tekad yang intinya antara lain: “Mengutuk sekeras-kerasnya terhadap tindakan teror dan penculikan para jendral. Mendesak Bung Karno selaku presiden untuk membubarkan PKI dan antek-anteknya dan ormas-ormas yang simpati terhadap G. 30 S PKI…”

Muktamar IMM IV

Amanah muktamar IMM III di Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 14-17 Maret 1971 di Yogyakarta bahwa muktamar IMM ke IV akan dilaksanakan di Medan atau Jakarta. Sebelumnya telah diputuskan oleh Tanwir IV yaitu Medan (SUMUT). Kemudian karna pertimbangan integrasi sesama AMM cq Pemuda Muhammadiyah maka DPP IMM memutuskan untuk memindahkan tempat Muktamar dari Medan - Malang (JATIM).Akan tetapi setelah berembug dengan PP Pemuda Muhammadiyah dan OC Muktamar akhirnya diputuskan tempat Muktamar IMM IV yaitu di Semarang( Jateng ) pada Tanggal 18-22 Djulhijjah 1395 H/21-25 Desember1975 M berbarengan dengan Muktamar Pemuda Muhammadiyah Ke-6.

Dalam Muktamar IV tersebut disamping menyusun personalia DPP IMM Periode 1975-1978 yang diketuai oleh Drs. Zulkibar dan M. Alfian Darmawan (Sekretaris Jenderal) juga telah menelorkan deklarasi yang didalam perkembangan sejarah IMM mengalahkan popularitas DPP IMM selakigus menggusur program produk Muktamar yang ditanfizkan dengan SK No.002/A-1/76 tgl 8 Syafar 1396 H./8 Pebruari 1976.

Deklarasi Masjid Raya Baiturrahman Semarang ditandatangani oleh 36 orang, 17 orang generasi awal dan 19 orang generasi penerus. Ke-17 orang generasi awal tersebut Yaitu: Drs. H Moh.Djazman, dr.Sudibyo MarkusDrs. H Rosyad Saleh, dr Moh Arief, Drs. Syamsu udaya Nurdin, Drs. Zulkabir, Drs. H. Sutrisno Muhdam, H. Nurwijoyo Sarjono, Drs Basri Tambuh, Drs. Fathurrahman HM. Sumarwan, Bsw, Ali Kyai Demak, SH, Drs. M. Husni Tamrin, M. Susanto BA, Dra. Siti Romlah, dan dr. Deddy Abubakar. Sedangkan ke 19 generasi Penerus yaitu wakil-wakil DPD IMM Se- Indonesia yang nengikuti Muktamar IMM IV tersebut, yang berarti secara otomatis deklarasi tersebut merupakan tekad Pimpinan dan anggota IMM seluruh Indonesia. Mereka itu adalah: Hindun Rosidi ( Aceh ), M. Jaginduang dalimunthe ( Sumut ) Agus Aman ( Riau ) Bazar Abas ( Sumbar ) A.Roni Umar ( Jambi ) Fauzi Fatah ( Lampung ) Rafles ( DKI Jakarta) Anda Suahanda ( Bandung/Jawa Barat )Ahmad Sukarjo ( Jateng ) Tufik Dahlan ( DIY Yogjakarta) Ishak Soleh ( Kalbar / Pontianak ) Mahrani Said ( Kalsel )M. Nurdin HS.(Samarinda/ Kaltim) M.Yasin Ahmad ( Suselra/Ujung Pandang) M.Yunus Hamid( Sulteng) M.NurAbdullah ( NTB / NTP ) Joko Santoso ( Malang /Jawa Timur ) A. Muiz ZA ( DPP IMM Periode 1971-1974 ) dan Mahnun Husein ( DPP IMM 1971-1974).

Dewan Pimpina Pusat Ikatan Mahasiswa Muahmadiyah Periode Muktamar IV atau periode 1975-1978) dalam pelaksanaan program hasil Muktamar yang telah ditanfizkannya melalui surat keputusan No.002/A-1/1976 8 Februari 1976. Kurang banyak melakukan suatu aktifitas tingkata nasional. Namun, satu inforamsi yang bias dipercaya, bahwa DPP IMM Periode 1975-1978 telah mengusulkan kepada pemrintah RI dalam melakukan pembibitan bagi generasi muda dan mahasiswa diperlukan adanya seorang pembantu Presiden yakni seorang menteri yang bertugas menangani kepemudaan, yang akhirnya lahirlah dalam komposisi Kabinet Pembangunan III dr. Abdul Gafur sebagai Menpora dan Ir. Akbar Tanjung untuk Kabinet Pembangunan IV (1988-1993) konon, kehadiran meneteri pemuda ini salahsatunya adalah merupakan usulan DPP IMM periode 1975-1978 yang diketuai oleh Drs. Zulkabir.

Kemudian, kaitannya dengan pengembangan ikatan pada dan atau lewat Muktamar IMM IV di Semarang tersebut, telah merekomendir penggeseran azas pengorganisasian IMM dari azas teritorial kepada azas potensial. Penggeseran ini menurut pola katifitas ikatan dimaksudkan supaya IMM senantiasa berorientasi kepada bidang-bidang gerak Muhammadiyah. Dan kebutuhan dasar mahasiswa. Kalau sekarang kita mempunyai keyakinan penuh bahwa komisariat adalah sebagai institusi terbawah dalam jenjang kepemimpinan ikatan, adalah merupakan basis kegiatan, maka dengan penggeseran azas tersebut berarti posisi komisariat dan atau kelompok dipandang penting dan menentukan. Program yang seperti ini sesungguhnya merupakan hasil rumusan Muktamar IMM IV tersebut. Dan dengan ini memang terjadilah upaya perluasan IMM melalui rekomendasinya kepada PP Muhammadiyah.

Atas dasar rekomendasi dari Muktamar IV IMM kepada Muhammadiyah kaitannya dengan pengembangan IMM tersebut, maka Muhammadiyah dalam hal ini Majelis Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (sekarang majelis ini dipecah menjadi dua; Majelis Diktilitbang dan Majelis Pendidikan dan Kebudayaan) telah mengeluarkan petunjuk mengenai pembinaan mahasiswa perguruan tinggi Muhammadiyah yang juga merupakan rekomendasi dari hasil lokakarya yaitu dengan suratnya nomor: E.1/234/1978 tertanggal 31 Oktober 1978 nomor: E.1/001/79 tanggal 2 Januari 1979 dan nomor E.3/014/1979 tertanggal 6 Januari 1979.

Selain itu, DPP IMM periode Zulkabir, yang sebenarnya harus berakhir pada tahun 1978 atau akhir tahun 1979 (paling lambat), ternyata masih merasa kurang cukup waktu dalam melaksanakan amanah hasil Mukatamar IMM III dan IV. Tahun 1979, bukannya Mukatamar IMM V yang diadakan, tetapi justeru tentang Tanwir V yang diadakan di Jakarta, yang salah satu keputusannya akan bermuktamar pada bulan Oktober 1979. dan Tanwir V inipun sesungguhnya merupakan desakan dari DPD IMM DKI Jakarta yang saat itu di Ketua Umumi Drs. M. Yunan Yusuf. Dan dalam Tanwir IMM V di Jakarta tahun 1979 inipun terdapat rekomendasi untuk Muhammadiyah dan untuk DPP itu sendiri supaya segera melaksanakan Mukatamr IMM V.

Sampai beberapa tahun kemudian DPP IMM periode 1975-1978 tidak mampu mengadakan Muktamar lanjutan (ke-5). Personalia DPP IMM periode ini yang terpencar-pencar, ada yang di Yogya, Solo, Bandung dan Jakarta, dan lain-lain mengakibatkan komunikasi antar anggota DPP menjadi renggang bahkan terputus. Yang pada gilirannya terjadilah kevakuman IMM ditingkat nasional. DPD IMM DKI Jakarta pada tanggal 14-15 Maret 1981 mengadakan Musyda V dan dalam Musyda inilah disuarakan bahkan mendesak supaya DPP IMM periode 1975-1978 segera melaksanakan amanah Muktamar.

DPP IMM nampaknya kurang mendengar suara Musyda IMM DKI Jaya tersebut, maka, pada tanggal 3 Juni 1982 para alumni IMM DKI Jaya, Drs. H. Rustan SA, M. Rusaini Rusin, SH, Drs. E. Kusnadi, Sudirman Arif, Drs. Husni Thoyar, Drs. Hadjid Dharnawidagda, MP, Drs. Yudi Ruspandi, Drs. A. Sabuki, Drs. Abdul Muis, ZA, Drs. H. M. Yusuf Muchtar, Drs. Salman Harun (sekarang Doktor), Drs. Sadimin, Drs. M. Yunan Yusuf, Drs. Muh. Isa Anwari Bah, dan Firdaus Jamain, telah menandatangani surat himbauan kepada PP. Muhammadiyah supaya turun tangan dan segera melaksanakan Muktamar IMM V, dan surat ini ditembuskan kepada seluruh PWM seluruh Indonesia, tetapi juga…Muktamar masih tetap belum dilaksanakan. Tahun 1984 DPD IMM DKI Jakarta memprakarsai untuk membentuk karakteker DPP IMM, yang tujuannya akan mengantarkan IMM untuk segera melaksanakan Mukatamar, tetapi karakteker ini banyak tentangan akhirnya bubar sendiri.

Kembali pada permasalahan bahwa, penilaian yang objektif sesungguhnya DPP IMM sejak periode 1975-1978/1979 terjadilah kekosongan, atau sejak itulah IMM tidak mempunyai DPP IMMnya. IMM yang pada periode Drs. HM. Djasman dan Drs. HA. Rosyad Soleh, memiliki potensi nasional yang meyakinkan, ternyata hampir tenggelam gara-gara ketiadaan DPP IMM sejak tahun 1979 tersebut. Namun demikian, kekosongan DPP IMM sesungguhnya sma sekali tidak mempengaruhi aktivitas IMM di setiap daerah dan cabang, walaupun DPP IMM tidak ada. Tetapi anggota IMM tidak ambil pusing. Identitas IMM ternyata begitu melekat pada IMM, di daerah-daerah dan cabang-cabang, IMM masih tetap tumbuh bahkan semakin subur. IMM saat ini ibarat sebuah pohon besar yang rindang kemudian terserang kemarau panjang yang menggugurkan dedaunannya tetapi akarnya semakin menerobos ke perut bumi. Atasnya rontok, tetapi bawahnya semakin mantap, itulah IMM saat itu.

Kondisi DPP IMM yang banyak memendam cerita nyata tersebut, lama kelamaan terdengar pula oleh PP Muhammadiyah, satu hal yang amat menguntungkan bagi IMM, yaitu bahwa anggota-anggota Pimpinan Pusat saat itu banyak mantan DPP IMM seperti Drs. Muh. Djasman, Drs. Sutrisno Muhdam, Drs. A. Rosyad Saleh, Drs. Abu Sri Dimyati, dll. Sementara itu, Bapak HS. Prodjokusumo sendiri selaku Ketua PP Muhammadiyah Mapendappu saat itu merasa terpanggil yang akhirnya keluarlah animo beliau untuk menulis tentang IMM yang nadanya hampir menjerit dengan judul “IMM Anakku, Bangkitlah”! yang kemudian tulisan ini disamping dimuat di suara Muhammadiyah nomor. 12 tahun ke-63 Juni 1983 juga disebarluaskan oleh BKP-AMM dalam bentuk buku diterbitkan pada tahun 1983. Dengan demikian, maka akhirnya PP Muhammadiyah yang merasa telah mengesahkan berdirinya IMM dan merasa bahwa IMM adlah anak kandungnya, segera turun tangan, turut campur kedalam pembenahan IMM dalam hal in DPPnya.

copy right @DPP IMM 2010

Syekh Hamzah Fansury Ulama dari Aceh

SEJARAH HIDUP HAMZAH FANSURI

A. Riwayat Hidup Syekh Hamzah Fansuri
Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, sastrawan dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara abad ke-16 sampai awal ke-17.[26] Tahun lahir dan wafat Syekh tak diketahui dengan pasti. Riwayat hidup Syekhpun sedikit sekali diketahui. Sekalipun demikian, dipercaya bahwa Hamzah Fansuri hidup antara pertengahan abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Kejian terbaru dari Bargansky menginformasikan bahwa Syekh hidup hingga akhir
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan mungkin wafat beberapa tahun sebelum kedatangan Nuruddin ar-Raniry yang keduakalinya di Aceh pada tahu 1637. Sebelumnya, Syed Muhammad Naguib al-Attas berpendapat bahwa Syekh hidup sampai masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang masyhur itu.

Barginsky mengutip laporan laksamana Perancis Bealeu yang telah dua kali mengunjungi Aceh. Kungjungan kedua dilakukan pada tahun 1620 semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Dalam laporannya, Bealeu antara lain mengatakan; ketika melewati istana dia melihat Sultan Aceh murka kepada seorang tokoh kerohanian yang berwajah kenabian dengan menutup pintu keras-keras. Seandainya tokoh ini seorang pejabat istana seperti Syamsuddin Pasai, sudah tentu tak akan dimurkai oleh Sultan. Selain itu, dia tentu tak akan berani menegur Sultan yang sedang menyiapkan upacara meditasi menyambut datangnya bulan purnama. Bargansky memastikan bahwa tokoh kerohanian itu adalah Syekh Hamzah Fansuri, sedang pejabat keagamaan yang tampak bersama Sultan adalah Syekh Syamsuddin Pasai yang ketika itu menjabat perdana menteri. Keberanian tokoh kerohanian itu untuk menegur Sultan sejalan dengan keberanian Syekh Hamzah Fansuri menyampaikan kritik yang ditujukan kepada Sultan, khususnya sehubungan dengan penyimpangan praktek keagamaan dan kerohanian yang dilakukan para pembesar istana Aceh termasuk Sultan.[27]

Tempat lahir Hamzah Fansuri juga menimbulkan perselisihan faham. Pada umumnya para sarjana berpendapat bahwa Hamzah Fansuri dilahirkan di Barus, sebuah bandar yang terletak di pandat Barat Sumatera Utara diantara Singkel dan Sibolga.[28] Ia berasal dari keluarga Fansuri, yang telah turun temurun berdiam di Fansur.[29] Fansuri adalah nama yang diberikan pelaut zaman dahulu kala. Tetapi menurut Syed Muhammad Naguib al-Attas, Hamzah Fansuri dilahirkan di Syahri Nawi, yaitu Ayuthia, Ibukota Siam yang didirikan pada tahun 1350. Syed Muhammad al-Attas sampai kepada kesimpulan berdasarkan dua lirik syair Hamzah Fansuri yang berbunyi:
“Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi”[30]

Terdapat beberapa kata kunci yang dapat memberikan petunjuk tempat kelahirannya, yaitu “wujud” dan “Syahr Nawi”. Al-Attas merujuk kepada “wujud” sebagai keberadaan (laghir) Hamzah Fansuri. Ide ini membawanya kepada keyakinan bahwa meskipun orang tuanya berasal dari Barus, Hamzah lahir di Syahr Nawi, sebuah nama tua dari kota Ayuthia.[31]

Professor Dreweas tidak setuju dengan tafsiran pada dua lirik di atas. Menurut Drewes, mendapat wujud berarti mendapat ajaran tentang wujudiyah. Kota Syahri Nawi pada paruh kedua abad ke-16 adalah kota dagang yang banyak dikunjungi oleh pedagang Islam dari India, Paris, Turki dan Arab. Sedah tentu banyak ulama juga tinggal di bandar ini, dan di bandar inilah Hamzah berkenalan dengan ajaran wujudiyah yang kemudian dikembangkannya di Aceh.[32]

Ia banyak melakukan perjalanan, antara lain ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Mekkeh dan Madinah. Seperti sufi lainnya, pengembaraannya bertujuan untuk mencari ma’rifat Allah SWT.[33] Setelah Hamzah fansuri mendapat pendidikan di Singkel dan beberapa tempat lainnya di Aceh, beliau meneruskan perjalanannya ke India, Persia dan Arab. Karena itu beliau fasih berbahasa Melayu, Urdu, Parsi dan Arab. Dipelajari ilmu fiqh, tasawuf, tauhid, akhlaq, mantik, sejarah, bahasa Arab dan sastranya. Ilmu-ilmu itu pula beliau ajarkan dengan tekun kepada murid-muridnya di Banda Aceh, Geugang, Barus dan Singkel. Beliau membangun dan memimpin pesantren di Oboh Simpangkanan Singkel sebagaimana abangnya Syekh Ali Fansuri membangun dan memimpin pesantren di Simpangkiri Singkel, pesantren Simpangkanan merupakan lanjutan dari Simpangkiri.[34]

Bersama-sama dengan Syekh Syamsuddin as-Sumatrani, Hamzah Fansuri adalah tokoh Wujudiyah (penganut paham Wahdatul Wujud). Ia dianggap sebagai guru Syamsuddin as-Sumatrani. Bersama dengan muridnya ini, Hamzah Fansuri dituduh menyebarkan ajaran-ajaran sesat oleh Nuruddin ar-Raniry, ulama yang paling berpengaruh di istana Sultan Iskandar Muda.[35] Ar-Raniry menyatakan didalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran tasawuf Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani termasuk ajaran kaum zindiq dan panteis. Ribuan buku karangan penulis Wujudiyah ditumpuk dihadapan Masjid Raya Kutaraja untuk dibakar sampai musnah.[36]

Hamzah Fansuri adalah seorang ahli tasawuf, zahid dan mistik yang mencari penyatuan dnegan al-khaliq dan menemunya dijalan kasih Allah atau Isyk. Bertujuan mengenal inti sari ajaran tasawuf, ia lama mengembara; misalnya ke Baghdad, kota yang menjadi pusat tarekat Qadariyah, kemudian juga ke kota suci Mekkah dan Madinah, serta Kudus di Jawa.[37] Pernyataan ini tersirat dalam syair berikut:

“asalnya manikan tiada kan layu
Dengan ilmu dunia dimanakan payu”[38]

Syekh Hamzah Fansuri menggunakan kata payu (bahasa Jawa) tampak sekali bahwa Syekh menguasai bahasa Jawa. Syair ini menepis keragu-raguan bahwa kunjungan Syekh ke Kudus bukan sekedar bermakna simbolis.[39] Drewes membantah pendapat diatas yang menyatakan bahwa Hamzah Fansuri pernah mengembara dari Barus ke Kudus. Menurutnya, Hamzah Fansuri tidak pernah mengatakan bahwa dia pernah menempuh perjalanan dari Barus ke Kudus.[40]

Agaknya Hamzah Fansuri mencapai penyatuannya dengan al-khaliq yangsudah lama dicita-citakannya sepulang dari Kudus, yaitu selama ia tinggal di Syahri Nawi, sebuah kampung kecil dan terpenting, kampung ini terletak ditengah hutan. Menurut Hamzah Fansuri disinilah ia mengalami keadaan fana, menemui wujud dirinya yang sejati dan seakan-akan dilahirkan kembali. Karena itu, didalam puisi-puisinya terkadang menyebut dirinya sebagai anak Fansur-Barus dan terkadang anak Syahr-Nawi.

Pada zaman Sultan Alauddin Riayat Syah dan Sultan Iskandar Muda, yaitu ketika Hamzah Fansuri menulis karya-karyanya, tasawuf sedang menjadi semacam kegemaran atau bahkan gaya hidup masyarakat. Hamzah Fanzuri yang berpendidikan tinggi dan telah mendapat pencerahan jiwa, disana-sini melihat akibat-akibat tersebarnya gaya hidup yang agak dangkal itu. Dalam salah satu syairnya, dia mengatakan bahwa Tuhan lebih dekat pada hamba-Nya dari pada Hablil Warid atau urat nadi leher, menyindir anak-anak muda dan orang-orang tua yang tiba-tiba menjadi sufi dan seia sekata maju kehutan belantara mencari Tuhan. Hamzah Fansuri merasa gusar bukan saja karena setiap orang mengaku dirinya berhak memasuki rahasia tasawuf yang sejati. Ia terlebih-lebih mengecam orang-orang yang masih menempuh ajaran yoga dalam usaha mereka untuk mengenal al-Haq dan orang-orang kolot yang menduduki jabatan berpengaruh di istana Sultan dan memandang sufi sebagai murtad.[41]

Hamzah Fansuri telah berhasil mngukir sejarah pribadinya dalam khazanah pembaharuan keislaman di dunia Islam. Karya-karyanya telah berhasil membuka dan memperluas wawasan berpikir umat Islam terhadap berbagai disiplin ilmu yang dikuasainya. Hamzah Fansuri telah berusaha mengungkapkan semua ajaran melalui karya sastra dan mistis Islami dengan kedalaman isi dan pesan yang gagal sangat mengagumkan. Kepeloporan Hamzah Fansuri dibidang sastra ini diakui oleh pakar Belandan Valentjin yang pernah datang ke Aceh, dimana ia menyatakan bahwa Hamzah Fansuri telah berhasil dengan sukses menggambarkan kebesaran Aceh masa lampau melalui syair-syairnya.
Hamzah Fansuri dipengaruhi oleh pemikiran mistiko falsafi yang demikian tinggi, maka ajarannya tidak hanya berarti pada maqam ma’rifah sebagaimana kaum mistiko-sunni, akan tetapi melampauinya ke tingkat paling puncak yaitu merasakan kebersatuan diri dengan Tuhan yang disebut itthad.[42]

Aspek lain dari Hamzah Fansuri ialah kepedulian sosialnya, khususnya yang berkaitan dengan perbedaan strata sosial antara para budak dan tuan mereka. Sebagai seorang sufi, Hamzah Fansuri mengutuk fenomena ini sebagai tercermin sebagai berikut:
“Aho segala kamu anak ‘alim
Jangan bersbubhat dengan yang zalim
Karena Rasul Allah sempurna hakim
Melarang kita sekalian khadim”

Kepedulian Hamzah terhadap kelas sosial dapat dipahami sebagai akibat dari sebuah kenyataan dimana perbudakan merupakan hal yang lazim dikalangan masyarakat Islam saat itu. Di Aceh, sebagaimana yang dilaporkan oleh Bealeu, “penguasa menggunakan mereka untuk memotong kayu, menggali batu, membuat senjata mortir dan bengunan”.[43] Kehadiran Syekh Hamzah Fansuri tidak hanya sebagai seorang ulama tasawuf, cendekiawan dan sastrawan terkemuka tetapi juga telah berpartisipasi sebagai pembaharu didalam bidang kerohanian, keilmuan, filsafat dan bahasa. Kritik-kritik Syekh Hamzah Fansuri terhadap perilaku politik para penguasa dan perilaku moral orang kaya yang sangat tajam, menunjukkan bahwa Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang intelektual yang berani dimasanya. Kritik-kritik Syekh juga ditujukan kepada ahli-ahli tarekat yang mengamalkan praktekl yoga yang sesat dan jauh dari amalan syari’at.[44]

B. Kepenyairan Syekh Hamzah Fansuri
1. Hazmah Fansuri Sebagai Pembaru
Syekh Hamzah Fansuri bukan hanya sebagai seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tapi juga perintis dan pelopor. Sumbangannya sangat besar bagi perkembangan kebudayaan Islam, khususnya dibidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa dan sastra. Di dalam hampir semua bidang ini, Syekh juga seorang pelopor dan pembaru. Kritik-kritiknya yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para bangsawan dan orang-orang kaya yang menemparkannya sebagai seorang intelektual yang berani pada zamannya. Karena itu, tidak mengherankan apabila kalangan istana Aceh tidak begitu menyukai kegiatan Syekh dan para pengikutnya. Salah satu akibatnya ialah, baik Hikayat Aceh maupun Bustan as-Salatin dua sumber penting sejarah Aceh yang ditulis atas perintah Sultan Aceh, tidak sepatah katapun menyebutnya namanya, baik sebagai tokoh spiritual maupuan sastra.
Dibidang keilmuan Syekh telah mempelopori penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya Syekh muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis didalam bahasa Arab atau Persia. Dibidang sastra, Syekh mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofi dan mistik bercorak Islam. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman ataupun sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan ke-18 kebanyakan berada dibawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syekh Hamzah Fansuri.[45]

Dibidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra, Hamzah Fansuri telah pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika kerohanian. Kepiawaian Syekh dibidang hermeneutika terlihat didalam Asrar al’Arifin, sebuah risalah tasawuf penting berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara. Disitu Syekh memberi tafsir dan takwil atau puisinya sendiri, dengan nalisis yang tajam dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistimilogi dan estetika.[46]